Terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap 22 kasus dugaan tindak pidana korupsi oleh Kejati Sumbar meninggalkan tanda tanya besar terhadap masa depan pemberantasan korupsi. Sederhananya, akankah penanganan tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) berjalan dengan baik jika hanya dengan cara yang biasa-biasa saja?
Citra Semu Penanganan Korupsi
Mengulang kembali sindiran Mestika Zed dalam Padang Ekspres: 29/5, gebrakan Galodo SP3 telah membangunkan kembali kesadaran publik tentang runyamnya praktik penuntasan kasus hukum di daerah, realitas tersebut menyadarkan kita bahwa ketika paradigma citra (imagologi) menguasai hukum, maka prinsip-prinsip kesemuan, kepalsuan dan kedustaan citra menggantikan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan hukum (Yasraf Amir Piliang: 2003: 3). SP3 22 kasus tersebut menghentakkan publik akan panorama kehidupan kita (terutama penegakan hukum) seperti disitir Yasraf sebagai percampuran citra dan kebenaran, representasi dan realitas, tiruan dan asli, serta kepalsuan dan kebenaran.
Galodo SP3 22 kasus korupsi hanyalah akumulasi dari cerita kepeliuan publik terhadap penanganan kasus-kasus korupsi di Sumatera Barat. Puncaknya pada 2008 kesadaran publik akan adanya indikasi pelemahan pemberantasan korupsi di Sumatera Barat mengemuka dalam wadah gerakan Aliansi Masyarakat Anti Korupsi (AMAK). Gerakan yang terdiri dari beberapa LSM, Organisasi Mahasiswa, Akademisi, dan individu-individu tersebut prihatin dengan penanganan kasus korupsi makin tak menentu. Sehingga Galodo SP3 tersebut memperlihatkan kabut tebal yang sedang menyelimuti track penegakan hukum korupsi di tanah air, khususnya di Sumatera Barat.
Sebagai tumpuan harapan publik dalam penegakan hukum korupsi setelah KPK, sikap Kejati Sumbar yang meng-SP3-kan 22 kasus korupsi tersebut patut disayangkan. Rony Saputra menilai hal itu sebagai sikap “Mencawan” ala Kejati Sumbar (Padang Ekspres 29/6) dan tak lebih merupakan badai imagologi yang mengedepankan pencitraan dari pada prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan. Bagaimana tidak, Galodo SP3 kembali membangunkan kesadaran publik melalui wadah Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera Barat (KMSSB) untuk mengungkap tabir gelap di balik Galodo SP3 tersebut.
Secara hukum, imagologi dimaksud terungkap dalam pertemuan KMSSB dengan Kejati Sumbar pada 29/5, ketika KMSSB meminta salinan berkas 22 kasus yang di-SP3-kan oleh Kejati Sumbar. Namun seperti ditulis Rony, Kejati Sumbar menolak memberikan salinan ke 22 berkas kasus itu dengan dalih sifat rahasia BAP yang suatu saat dapat dibuka jika ada bukti baru yang mendukung. Dalih Kejati Sumbar bersandar pada ketentuan Pasal 17 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) terkait asas pengecualian bersifat rahasia sesuai undang-undang, kepatutan dan kepentingan umum. Asas ini merupakan batu uji dalam mengklasifikasikan sebuah informasi tertutup untuk publik. Pertanyaannya, sejauh mana asas tersebut telah diterapkan oleh Kejati Sumbar dalam kasus Galodo SP3 22 kasus korupsi?
Kewajiban badan publik untuk membuka akses setiap informasi publik dalam Pasal 17 huruf a angka 1, salah satunya memang mengecualikan untuk informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat menghambat proses penegakan hukum, yaitu informasi yang berpotensi menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana. Lalu apabila hak subjektif Kejati Sumbar menolak memberikan salinan ke 22 berkas kasus korupsi itu berdalih ketentuan Pasal 17, pertanyaan selanjutnya, sudahkan Kejati Sumbar memperhatikan mandat Pasal 19 yang mewajibkan adanya pengujian tentang konsekuensi norma Pasal 17 dengan seksama dan penuh ketelitian sebelum menyatakan informasi publik tertentu dikecualikan untuk diakses oleh publik?
Perlu diketahui bahwa semangat kelahiran UU KIP merupakan pengejawantahan perlindungan hak konstitusional warga negara terhadap informasi yang diatur dalam Pasal 28F UUD 1945. Di mana setiap orang berhak untuk memperoleh informasi serta berhak untuk mencari informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Dalam konsideran UU KIP ditegaskan, hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik. Karena itu, keterbukaan informasi publik merupakan sarana optimalisasi pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara terhadap segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik.
Dalam posisi hak subjektif Kejaksaan untuk menilai informasi publik boleh dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik, Pasal 16 Peraturan Jaksa Agung No. Per-032/A/JA/08/2010 tentang Pelayanan Informasi Publik di Kejaksaan RI, mengatur bahwa salah satu informasi yang dapat menghambat proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan suatu tindak pidana adalah Berita Acara Pemeriksaan(BAP). Namun dalam Pasal 17 dinyatakan, Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang bertanggungjawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi di Kejaksaan, hanya “…merahasiakan identitas tersangka, identitas terdakwa, identitas korban, identitas saksi, pekerjaan, alamat, dan informasi lainnya yang dapat mengungkap informasi pribadi dalam perkara: Tindak pidana kesusilaan dan kekerasan dalam rumah tangga; Tindak pidana yang pelakunya adalah anak; Tindak pidana yang menurut undang-undang perlindungan saksi dan korban harus dilindungi; Tindak pidana lainnya yang proses persidangannya dilakukan secara tertutup.
Ketentuan Pasal 17 Peraturan Jaksa Agung di atas, secara a contrario memposisikan tindak pidana selain dimaksud Pasal 17, bukalanlah informasi yang mesti dirahasiakan oleh PPID. Dengan demikian, ke 22 BAP kasus korupsi itu sebenarnya telah menjadi hak publik karena berkaitan lansung dengan dampak tindak pidana korupsi yang tidak hanya merugikan indvidu dan negara, melainkan masyarakat secara luas. Jadi hak publik atas informasi penanganan korupsi bukan hanya SP3 sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c UU KIP, melainkan juga terhadap salinan BAP ke 22 kasus korupsi. Karena itu, penolakan penyerahan salinan BAP 22 kasus korupsi yang diminta KMSSB dengan dalih dapat menghambat proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan suatu tindak pidana, hanyalah akal-akalan belaka dan tidak diragukan lagi adanya motif tertentu dibalik Galodo SP3 tersebut.
Nihilisme Pemberantasan Korupsi
Apa yang terjadi adalah pencitraan (imagologi) penegakan hukum seperti yang diperingatkan Yasraf, ketika hukum menampilkan bukan keadilan, tetapi citra keadilan yang ada adalah imagologi hukum (permainan citra hukum), sehingga yang muncul adalah pencitraan keadilan. Publik tidak bisa dibohongi dengan Galodo SP3 tersebut. Sikap Kejati Sumbar bukan hanya sekedar “mencawan” sebagaimana ungkap Rony, namun menampilkan kepalsuan dan kedustaan citra yang kebenarannya dapat diuji dengan Pasal 17 Peraturan Jaksa Agung No. Per-032/A/JA/08/2010 terkait apa saja dan jenis tindak pidana mana yang mesti dirahasiakan oleh PPID. Kenyataannya tindak pidana korupsi bukanlah termasuk salah satu yang dilarang dalam Pasal tersebut.
Selain menggunakan frame asas legalitas, realitas yang terjadi dapat dianalisis dengan pendapat Eugene Erlich tentang tujuan spesifik hukum, yaitu: kemanfaatan, keadilan dan kepastian hukum. SP3 22 kasus korupsi tersebut jelas menghilangkan tujuan spesifik hukum korupsi sebagai extra ordinary crime yang harus ditangani dengan cara-cara yang luar biasa pula. Apalagi Galodo SP3 belum memenuhi hal yang biasa sebagaimana diatur dalam Peraturan Jaksa Agung No. Per-032/A/JA/08/2010. Jadi bicara upaya luar biasa penangan kasus korupsi dalam konteks Galodo SP3, ibarat “jauh panggang dari pada api”. Karena terbitnya SP3 22 kasus tersebut belumlah memenuhi langkah-langkah biasa, apalagi langkah yang luar biasa.
Bicara kemanfaatan, Galodo SP3 justru menjadi bencana besar yang meluluhlantahkan ekspektasi publik terhadap praktik kehidupan negara yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Dari sudut keadilan menurut hukum, Galodo SP3 tersebut menjadi topeng yang menutupi pelaku kriminalitas sesungguhnya. Karena itu, mengimpikan pemberantasan korupsi, tidak ada pilihan bagi rakyat kecuali menyadari bahwa salah satu pilar tegaknya negara hukum adalah transparansi dan kontrol sosial (Jimly Asshiddiqie: 2010: 11). Artinya, pemberantasan korupsi hanya akan terlaksana dengan baik jika rakyat pro-aktif dalam mengawasi penegakan hukum korupsi tersebut. Apalagi Galodo SP3 tersebut tidak hanya memperburuk masa depan penangan kasus korupsi, akan tapi secara serta merta telah melanggar hak konstitusional kita sebagai warga negara dalam mengakses informasi publik.
Penulis :
Muhammad Fauzan Azim
Advokad dan Kordinator Advokasi dan Bantuan Hukum PBHI Sumatera Barat