Tahun 2014 telah ditandai dengan pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) legislatif (DPR, DPD dan DPRD) serta pemilu presiden. Komposisi DPR telah bertambah satu partai politik baru, serta terbentuk dua koalisi, yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Kedudukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga telah digantikan oleh Joko “Jokowi” Widodo sejak 20 Oktober. Harapan dan ketegangan politik telah menandai sejumlah catatan hak-hak manusia yang mengiringi pelaksanaan komitmen dan pelanggarannya.
Catatan bersih Presiden Jokowi dari keterlibatan atau tanggung jawab atas dugaan pelanggaran hak-hak manusia maupun janji politiknya dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak manusia segera menghadapi tantangan yang tidak ringan, sehingga belum tentu menjamin seluruh komitmennya terlaksana sesuai harapan. Presiden Jokowi akan menghadapi perilaku kementeriannya, serta lembaga-lembaga pemerintah di bawah wewenangnya yang selalu mungkin melakukan penyelewengan (abuse of power) dari hukum dan komitmennya.
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) telah mengumpulkan berbagai informasi tentang komitmen dan dugaan pelanggaran hak-hak manusia (human rights violation). Dasar komitmen diletakkan dalam tiga kewajiban umum negara (generic obligation of the state), yaitu menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak manusia. Sedangkan pelanggaran ketika negara melanggar kewajiban tersebut baik dengan tindakan (violation by action) maupun membiarkan (violation by omission), bahkan dengan menggunakan hukum (violation by law).
Semasa kampanye, Presiden Jokowi telah menyatakan komitmennya untuk menghormati atau menghargai kebebasan, menghadirkan negara untuk melindungi hak setiap orang dari ancaman kejahatan, serta memenuhi beberapa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, juga berkomitmen untuk membentuk pengadilan ad hoc atas kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) atau pemusnahan etnis atau golongan (gonocide) masa lalu. Namun, harapan komitmen ini justru diiringi dengan sejumlah implementasi yang tidak atau kurang sesuai dengan komitmen tersebut. Kendati demikian, lembaga negara non-pemerintah seperti DPR, juga dapat dituduh melakukan pelanggaran hak-hak manusia. Berikut sejumlah catatan hak-hak manusia sepanjang 2014 baik hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
1. DPR: UU Pilkada
Perseturuan politik berlanjut sesudah pemilu presiden antara KMP yang mencalonkan Prabowo Subianto dan KIH khususnya Presiden Jokowi itu bukan saja telah menimbulkan perubahan UU MD3 dan Tata Tertib DPR yang tidak menguntungkan KIH dan sempat diiringi “sapu bersih” pimpinan dan alat kelengkapan DPR dan MPR bagi KMP hingga terjadi pembelahan DPR – versi DPR mayoritas (KMP) dan DPR minoritas (KIH), namun juga melebar pada pengesahan UU Pilkada. Sebelum SBY turun dari kekuasaan presiden, masih sempat mengeluarkan Peraturan Pemerintah Penggganti UU (Perppu) Pilkada.
UU Pilkada yang disahkan DPR itu telah mencabut hak pilih warga negara yang sudah dinikmati sejak 1 Juni 2005, serta mengalihkan hak ini secara eksklusif hanya kepada DPRD. Terlepas dari kepentingan politik KMP demi menguasai kekuasaan negara di daerah, maka pengesahan UU ini dapat dipandang sebagai perampasan hak pilih warga negara. Cara pelanggaran ini dilakukan melalui hukum (violation by law). DPR telah merampas hak pilih warga negara menjadi hak eksklusif hanya bagi anggota DPRD dalam Pilkada. Bila UU ini diberlakukan, maka lebih dari 100 juta orang kehilangan hak pilih mereka di semua daerah.
Warisan perseteruan yang melandasi kepentingan politik koalisi di DPR itu dikhawatirkan dapat berlanjut pada pembentukan UU atau revisi lainnya yang justru mengabaikan atau mengingkari hak-hak manusia. Dengan itu pula PBHI mendesak DPR untuk selalu menunjukkan komitmen dan mengacu pada beberapa konvensi internasional yang sudah diratifikasi, dan UUD 1945 yang sudah diubah supaya terdapat kesesuaian UU yang dibentuk dengan norma dan standar hak-hak manusia.
2. UU ITE: Kriminalisasi Kebebasan Berpendapat
UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) – dihasilkan di bawah pemerintahan SBY – kembali “memakan” korban sesudah kasus Prita Mulyasari yang berhadapan dengan Rumah Sakit Omni Internasional pada 2009. Sejak awal, UU ITE ini memang mengandung persoalan dalam kaitannya dengan hak atas kebebasan berpendapat (right to freedom of opinion), karena dapat menggerakkan orang untuk melakukan kriminalisasi terhadap orang yang menulis di dunia maya dan media elektronik. Hanya karena mengisahkan curahan hati (curhat) seperti kekesalan Prita atas perlakuan buruk RS Omni Internasional, dia justru dijerat pidana dan dijebloskan ke dalam tahanan kepolisian.
Tahun ini kembali diderita Florence Sihombing, mahasiswi Magister Kenotariatan Universitas Gajah Mada (UGM). Dia dilaporkan oleh salah satu LSM yang bernama Jatisura ke Kepolisian Daerah (Polda) Yogyakarta atas tuduhan “menghina warga Yogya” dalam akun situs pertemanan Path dan statusnya menyebar di media jejaring sosial pada 28 Agustus 2014. Akibat sebaran ini Florence pun mendapat cercaan dari para penanggapnya. Pelapor lainnya adalah Granat DIY, Komunitas RO Yogyakarta, Foklar DIY-Jateng, Gerakan Cinta Indonesia, dan Pramuka DIY. Menurut Direktur Reserse Kriminal Khusus (Reskrimsus) Polda DI Yogyakarta, Komisaris Besar Polisi Kokot Indarto, penahanan tersangka Florence karena selama pemeriksaan cenderung tidak kooperatif dan tidak ada itikad baik, tidak mau menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Ancaman pidana yang dihadapi Florence adalah enam tahun penjara. Kendati sudah menyampaikan permohonan maaf ke berbagai pihak, Florence tetap diadili sebagai “penghina warga Yogya” – tanpa kejelasan subyek hukumnya – sejak November 2014. Lagi, dia juga didakwa melanggar Pasal 27 Ayat 3 jo Pasal 45 Ayat 1, dan Pasal 28 Ayat 2 jo Pasal 45 Ayat 2 UU No. 11/2008.
Catatan atas kasus itu dapat dikemukakan. Pertama, beberapa pasal dalam UU ITE ini melanggar hak atas kebebasan berpendapat. Hanya karena curhat atau melampiaskan kekesalan tanpa kekerasan sebagai bagian dari ekspresi setiap orang justru dijerat pidana. UU ini bersifat menjerat kebebasan berpendapat menjadi kriminal. Kedua, UU ITE dapat mengarahkan suatu operasi kekuasaan negara sebagai “negara intel” atau “negara polisi” di media jejaring sosial. Sifat negara semacam ini berbahaya bagi aktivitas berekspresi dalam bentuk tulisan sebagai ungkapan kekecewan atau kekesalan seseorang.
Karena itu, UU ITE perlu dipertimbangkan untuk dicabut atau diganti dengan UU yang melindungi orang dari kejahatan di media elektronik, bukan kriminalisasi kebebasan. Sekurang-kurangnya beberapa pasal yang menjerat kebebasan berpendapat – bukan tindak atau berbuat kejahatan – harus direvisi. Setiap UU yang dibentuk harus dapat dengan terang benderang membedakan mana “kebebasan” dan mana pula tindak “kejahatan”. Sebaliknya bukan sebagai “pasal-pasal karet”. Selain itu, setiap orang yang dijerat dengan UU ini, PBHI juga mendesak hakim untuk senantiasa melindungi hak setiap terdakwa dari ancaman jaksa yang menuntut hanya didasarkan pada UU tersebut.
3. Kementerian Hukum dan HAM: Kasus Munir
Seharusnya, komitmen ini dicamkan baik-baik oleh menteri dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menyusun rencana aksi (niat) tentang hak-hak manusia, membereskan persoalan rumah tahanan dan penjara (LP), serta memperhatikan para narapidana yang terkait dengan sorotan publik.
Namun, belum lagi mengumumkan apa rencana aksi nasional (RAN-HAM) dan rencana lainnya yang berkaitan dengan perlakuan atas para tahanan dan narapidana, Kementerian Hukum dan HAM yang dipimpin Menteri Yasona Laoly sudah dihebohkan dengan kebijakannya tentang pemberian “pembebasan bersyarat” terhadap mantan pilot “Garuda Indonesia”, Pollycarpus Budihari Prijanto. Pollycarpus sudah didakwa oleh Pengadilan Jakarta Pusat atas dakwaan menaruh racun arsenik di makanan Munir. Pollycarpus dijatuhi hukuman 14 tahun penjara pada 20 Desember 2005. Pengadilan tingkat banding, juga menguatkan putusan 14 tahun penjara pada April 2006. Hanya putusan kasasi di Mahkamah Agung (MA) yang berbeda. Pada 4 Oktober 2006, kendati dinyatakan terbukti menggunakan surat palsu, namun MA hanya menjatuhkan hukuman dua tahun penjara yang ditandai dengan putusan hakim Artidjo Alkostar yang memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion). Disusul berikutnya dengan peninjauan kembali (PK) – dengan menunjukkan novum tentang racun arsenik – yang memperberat hukumannya menjadi 20 tahun penjara. Eksekusi putusan ini ditunjukkan oleh kejaksaan yang menjemput Pollycarpus di rumahnya pada 25 Januari 2008 untuk dikembalikan ke penjara. Pollycarpus juga mengajukan PK dan mengembalikan putusan tingkat banding, 14 tahun penjara. Dia telah menjalani dua pertiga masa tahanan setelah mendapat potongan remisi yang memungkinkannya mengajukan pembebasan bersyarat.
Selain Pollycarpus, juga telah diadili Mayor Jenderal (Purn) Muchdi Purwopranjono – mantan Komandan Jenderal (Danjen) Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD dan Deputi V bidang penggalangan Badan Intelijen Negara (BIN) – orang yang diduga sebagai otak pembunuhan aktivis hak-hak manusia, Munir Said Thalib. Namun, pada 31 Desember 2008, majelis hakim Pengadilan Jakarta Selatan menjatuhkan vonis bebas kepada Muchdi Pr. Putusan ini mengundang perdebatan, sehingga Komisi Yudisial memeriksa tiga hakim yang membebaskan Muchdi Pr pada 5 Juni 2009, yaitu Suharto, Aswandi, dan Ahmad Yusak.
Mengenang 10 tahun silam, mendiang Munir, berangkat ke Amsterdam (Belanda), hendak melanjutkan studi di Universitas Utrecht, dengan menumpang pesawat Garuda Indonesia nomor penerbangan GA 974 pada 7 September 2004. Saat itu, Pollycarpus berstatus sebagai extra crew, yakni kru yang terbang sebagai penumpang dan untuk tugas lain. Pollycarpus adalah orang yang paling banyak melakukan kontak dengan mendiang Munir. Tidak dijelaskan apa tugasnya, namun diduga kuat dia merupakan salah seorang agen BIN. Dalam penerbangan dari Singapura-Amsterdam inilah Munir meregang nyawa.
Pembunuhan Munir tidak dapat membendung kemenangan SBY dalam pemilu presiden putaran kedua pada 20 September 2004 untuk mengatasi perolehan suara mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Setelah kemenangan pemilu, SBY pun didesak untuk mengeluarkan keputusan guna membentuk Tim Pencari Fakta (TPF). Pada 23 Desember 2004, SBY mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 111/2004 tentang Pembentukan TPF Kasus Munir yang diketuai Brigjen (Pol) Marsudhi Hanafi. Penyelidikan TPF menelusuri kejanggalan di Garuda Indonesia maupun peran para pejabat teras BIN. TPF menghadapi resistensi dari BIN, apalagi penelusuran juga mengarah kepada mantan Kepala BIN Jenderal (Purn) AM Hendroprijono.
Pollycarpus – operator lapangan dalam pembunuhan – dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana “turut melakukan pembunuhan berencana” dan “turut melakukan pemalsuan surat” oleh majelis hakim Pengadilan Jakarta Pusat. Pada tingkat kasasi, hakim Artidjo Alkostar setuju dengan tuntutan jaksa yang menghukum seumur hidup Pollycarpus kendati dua hakim lainnya hanya menjatuhkan hukuman dua tahun atas “pemalsuan surat”.
Dengan demikian, kebijakan Kementerian Hukum dan HAM memberikan pembebasan bersyarat itu dapat dikemukakan beberapa catatan. Pertama, pemerintah gagal menjamin hukuman atas orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab dalam pembunuhan Munir. Apalagi, Pollycarpus hanyalah satu-satunya orang yang dihukum sesudah Muchdi Pr mengecap kebebasan dari vonis hakim. Kedua, dalam kasus ini adalah satu-satunya TPF yang terbentuk untuk melakukan penyelidikan dalam kasus “pembunuhan berencana” yang mempunyai kaitan politik “konspirasi” karena Pollycarpus tidak bertindak sendirian dan berlangsung justru menjelang pemilu presiden putaran kedua. Artinya, masih ada penjahat lain atau orang yang bertanggung jawab atas kejahatan ini namun bebas berkeliaran tanpa dapat dihukum dan bertanggung jawab dalam kejahatan politik. Ketiga, sebuah badan usaha milik negara (BUMN) Garuda Indonesia diduga ikut terlibat bersama-sama dengan aparat intelijen negara, BIN, yang telah menjadi sasaran penyelidikan TPF serta kesaksian Kolonel Budi Santoso di Kedutaan Besar RI di Malaysia yang diterangkannya kepada penyidik sepanjang 2007-2008 tentang keterlibatan BIN. Keempat, mengandung aspek internasional, karena berkat bantuan kepolisian Belanda lewat Institut Forensik Belanda, telah ditemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi jenazah Munir sebagai racun yang mematikan, serta diumumkan pada 12 November 2004. Berita Munir dibunuh pun menyebar luas.
Dengan kebijakan pembebasan bersyarat itu, pemerintah cq Kementerian Hukum dan HAM sekarang dinilai tidak peka atas pentingnya menjamin atau memastikan pelaku pembunuhan Munir menjalani hukuman tanpa menikmati keistimewaan. Tidak penting bila pelaku tidak pernah mengakui perbuatannya, namun sejauh bukti yang melimpah dapat digunakan untuk membuktikannya, kementerian tidak seharusnya melawan bukti-bukti tersebut dengan kesan memihak: Pollycarpus juga “mempunyai hak”. Kementerian Hukum dan HAM juga terkesan abai bahwa kasus ini mengandung aspek internasional di mana pemerintah di masa lalu dibuat gagal hadir untuk melindungi warganya, melainkan justru “hadir” untuk melancarkan kejahatan pembunuhan. Kesan ini dapat menimbulkan dugaan hubungan Kementerian Hukum dan HAM dengan “orang-orang BIN” masa lalu bersemi kembali.
Kendati tidak sepenuhnya, pemerintah SBY telah menunjukkan komitmennya yang terbatas pada mengadili dan menghukum Pollycarpus, namun gagal terhadap Muchdi Pr. Kini, setelah pembebasan bersyarat menjadi perdebatan – dapat pula dinilai “blunder” – maka pemerintah Jokowi ditantang dan didesak untuk melanjutkan penuntasannya. Desakan juga dapat dimulai dengan mengumumkan laporan dan rekomendasi akhir dari TPF Kasus Munir. Karena, sejauh ini laporan TPF dirahasiakan dari publik. Presiden Jokowi juga perlu membentuk badan independen untuk memeriksa investigasi polisi dan tanggapan Jaksa Agung dalam kasus pembunuhan Munir sesuai rekomendasi TPF. Rekomendasi ini tidak pernah direspon oleh pemerintahan SBY dan menjadi tantangan pemerintahan Jokowi.
Selain itu, sebagaimana spirit yang sering didengungkan Jokowi bahwa pemerintahannya bekerja untuk melayani rakyat, maka Kementerian Hukum dan HAM haruslah membuktikannya. Pertama, ditunjukkan dengan niatnya dengan RAN-HAM untuk menjadi pegangan bagi semua lembaga pemerintah dalam mengimplementasikannya. Kedua, memonitor pelaksanaan hak-hak manusia, melakukan evaluasi atas pelaksanaannya, serta mengumumkan hasil implementasi RAN-HAM kepada publik, apakah ada kemajuan atau menderita kegagalan. Ketiga, demi perbaikan sistem hukum supaya memenuhi standar, Kementerian Hukum dan HAM perlu melakukan kajian UU dan PP yang tidak sejalan dengan standar hak-hak manusia, termasuk UU dan peraturan yang berkaitan dengan nasib para tahanan serta korupsi di rumah-rumah tahanan dan penjara.
4. Polri: pelanggar terbanyak
PBHI mendesak pemerintahan Jokowi memberikan perhatian dan perbaikan kepada perilaku Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) terhadap setiap orang tanpa diskriminasi. Karena kepolisian diduga paling banyak melakukan pelanggaran hak-hak manusia (human rights violation) dalam proses penegakan hukum. Dua kategori pelanggaran yang lazim dilakukan Polri adalah [1] penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang (arbitrary arrest and detention), serta [2] penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam lainnya, tidak manusiawi atau merendahkan harkat manusia (torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment). Pada masa SBY sudah diratifikasi International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui legislasi UU No. 12/2005, serta ratifikasi Convention against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT) melalui legislasi UU No. 5/1998 dan pemberlakuan UU No. 39/1999 tentang HAM di masa Habibie, namun tidak banyak mengubah perilaku dan tindakan kepolisian terhadap para tersangka, salah tangkap dan rekayasa kasus, selain dugaan korupsi. UU No. 8/1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum juga dapat direvisi terkait kewajiban kepolisian untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak tersangka, pengawasan terhadap pelaksanaan tugas kepolisian, serta tanggung jawabnya atas pelanggaran. Lagi pula, kendati CAT sudah diratifikasi, namun delik pidana penyiksaan (torture) – bukan penganiayaan (persecution) – tetap hampa dalam pemidanaan penyiksaan karena tidak ada ketentuan hukum yang dapat menuntutnya.
Kasus-kasus yang diungkapkan hanya dibatasi beberapa saja seperti pelanggaran lalu lintas, pencurian dan perampokan, judi, narkotika, penganiayaan, sampai pembunuhan – yang disebut sebagai tindakan kriminal biasa (ordinary crimes) – pelanggaran hak-hak manusia oleh kepolisian selalu yang terbanyak dari tahun ke tahun, selain tindakan atas orang-orang yang mengekspresikan kebebasan. Perilaku polisi ini bukanlah bersifat pribadi atau individual seperti penganiayaan atau terlibat kasus narkoba, melainkan ketika polisi menjalankan atau berada dalam tugas. Pelanggaran oleh kepolisian atas para tersangka ini tersebar di 27 provinsi, dengan menerapkan metodologi yang berbasis peristiwa (event based methodology) dan menggunakan pendekatan pelanggaran (violation approach). Kasus pelanggaran ini tidak termasuk Bengkulu, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Maluku Utara.
Setiap tahun, Komnas HAM mengeluarkan rilis tentang pengaduan yang diterimanya. Ada ribuan pengaduan terkait perilaku kepolisian yang masuk. Namun, dalam catatan PBHI, sedikitnya telah berlangsung 609 kasus dugaan pelanggaran hak-hak tersangka oleh aparat kepolisian sepanjang 2014. Sebanyak 83 kasus terjadi di Jawa Barat, 67 kasus di Jawa Timur, 61 kasus di DKI Jakarta, dan 42 kasus di Jawa Tengah (lihat grafik 1). Kasus-kasus pelanggaran ini merata di semua provinsi yang dipantau, sejauh informasinya dapat dikumpulkan.
Secara umum, pelanggaran oleh kepolisian atas kategori pertama, yakni penangkapan dan penahanan sewenang-wenang sebanyak 93 kasus atau 15,27 persen. Kasus ini antara lain ketiadaan surat penangkapan dan penahanan, salah tangkap, tanpa didampingi penasehat hukum, pemaksaan BAP, melewati batas penahanan, bukti yang tidak cukup, rekayasa kasus, atau bentuk tindakan administrasi lainnya yang bertentangan dengan prosedur hukum. Sedangkan kategori kedua antara lain penyiksaan atau perlakukan yang kejam dengan menggunakan berbagai metode kekerasan baik menggunakan alat maupun tanpa alat, sebanyak 516 kasus atau 84,73 persen. Sebagian besar kasus ini terjadi dalam proses penangkapan yang dilakukan dengan cara menembak orang-orang yang disangka melakukan kejahatan. Namun demikian, tidak berarti tumpang tindih atau kombinasi kedua kategori ini tidak terjadi. Beberapa kasus justru memperlihatkan pelanggaran yang diawali dengan penangkapan sewenang-wenang kemudian diiringi dengan tindakan yang tertuju pada hak atas keutuhan pribadi (right to personal integrity) pada tubuh tersangka. Setiap tindak pelanggaran yang tertuju pada tubuh dan penderitaan mental dapat digolongkan sebagai pelanggaran hak-hak manusia yang berat/serius (gross/serious violation of human rights), karena termasuk pelanggaran terhadap hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan dalam keadaan apa pun (non-derogable rights).
Setiap tindakan dan perlakuan yang sewenang-wenang dan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan harkat yang dilakukan oleh petugas kepolisian yang ditujukan kepada tersangka, menempatkan tersangka sebagai korban (victim) pelanggaran hak-hak, termasuk pelanggaran atas orang-orang yang mengekspresikan kebebasan. Dari 609 kasus pelanggaran, sedikitnya 1.061 orang tersangka dan mereka yang mengekspresikan kebebasan telah menjadi korban sebagai sasaran tindakan dan perlakuan yang sewenang-wenang, penyiksaan dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan harkat. Penyiksaan dan perlakuan kejam, selain juga yang dialami sejumlah korban salah tangkap. Korban pelanggaran terbanyak berada di Jawa Barat dengan 124 tersangka/orang, diiringi dengan korban Jawa Timur 83 orang, dan DKI Jakarta 79 orang (lihat grafik 2). Korban pelanggaran oleh kepolisian ini merata terjadi di semua wilayah pemantauan.
Aparat kepolisian dapat dituduh melanggar prosedur penangkapan dan penahanan sebagaimana diatur dalam KUHAP, namun juga melakukan penyiksaan dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan harkat manusia yang tergolong pelanggaran hak-hak manusia yang berat yang terkandung dalam UU No. 5/1998 tentang Ratifikasi Konvensi menentang Penyiksaan (CAT) baik ketika melakukan penangkapan maupun penahanan tersangka atau orang-orang yang mengekspresikan kebebasan. Dapat terjadi, aparat kepolisian melakukan pelanggaran dengan melibatkan beberapa wilayah (sektor, resor atau daerah) maupun dukungan aparat TNI dan aparat pemerintah yang lain. Artinya, setiap kasus pelanggaran dapat terjadi lebih dari satu aparat kepolisian wilayah. Dari 609 kasus pelanggaran, Kepolisian Resor (Polres) masih yang paling banyak atau mendominasi dalam melakukan pelanggaran hak-hak tersangka, yakni 323 keterlibatan. Kepolisian Sektor (Polsek) sebanyak 247 keterlibatan dalam pelanggaran. Lainnya adalah keterlibatan aparat negara/pemerintah di luar kepolisian dengan jumlah keterlibatan yang jauh lebih kecil yang seluruhnya terjadi 634 keterlibatan (lihat grafik 3).
Sampai 9 Desember, sedikitnya telah terjadi 609 kasus/peristiwa dugaan pelanggaran hak-hak tersangka dan orang-orang yang mengekspresikan kebebasan dalam bentuk protes yang tersebar di 27 provinsi. Petugas kepolisian masih sering melakukan penembakan tersangka, yang mencapai 449 kasus, dengan korban 692 orang di mana 109 orang di antaranya berakhir dengan kematian. Kasus yang juga banyak terjadi adalah pemukulan tersangka dan penyiksaan di tahanan kepolisian, sebanyak 62 kasus, dengan korban 285 orang di mana 12 orang meregang nyawa. Kepolisian pun masih banyak yang melakukan salah tangkap dan rekayasa kasus, sebanyak 33 kasus (lihat tabel 1). Sedangkan tindak pelanggaran yang didera setiap tersangka/orang dapat terjadi berulang kali. Tidak jarang, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang diiringi dengan pelanggaran berikutnya, terutama penyiksaan atau perlakuan yang kejam.
Tabel 1 | Pelanggaran oleh Kepolisian 2014
No Daftar Pelanggaran Jumlah
1 Kasus pelanggaran 609 kasus
a. Peristiwa penembakan tersangka 449 kasus
b. Pemukulan tersangka dan penyiksaan dalam tahanan 68 kasus
c. Pelanggaran prosedur administratif 59 kasus
d. Salah tangkap dan rekayasa kasus 33 kasus
2 Kategori pelanggaran 609 kasus
a. Pelanggaran hak-hak manusia yang berat 516 kasus
b. Pelanggaran bukan berat 93 kasus
3 Tipologi pelanggaran 2.121 tindakan
a. Kewajiban menghormati 1.417 tindakan
b. Kewajiban melindungi 98 tindakan
c. Kewajiban memenuhi 606 tindakan
4 Korban pelanggaran 1.024 orang
a. Korban pelanggaran berat 917 orang
b. Korban pelanggaran bukan berat 107 orang
5 Kondisi korban 1.024 orang
a. Mati 121 orang
b. Luka 652 orang
c. Lainnya* 271 orang
6 Pelaku pelanggaran 634 keterlibatan
a. Polres 323 keterlibatan
b. Polsek 247 keterlibatan
c. Polda 35 keterlibatan
d. Lainnya** 29 keterlibatan
7 Metode kekerasan dalam tahanan 23 item
a. Pemukulan dengan tangan kosong 69 kali
b. Penjemuran 35 kali
c. Pemukulan dengan benda tumpul 32 kali
d. Penendangan/penerjangan 27 kali
e. Lainnya*** 19 kali
Sumber: Dokumentasi PBHI
Lainnya* : Tanpa surat, pemaksaan BAP, pelecehan, pemukulan (tanpa luka), anak, dll.
Lainnya** : Mabes Polri, Aparat TNI, Pemprov, Pemkab, Pemkot, Satpol PP, Rutan/Lapas
Lainnya*** : penginjakan, penyetruman, perkosaan, pelecehan seksual dan pembiaran, penyundutan rokok menyala, pembiaran penganiayaan, dll.
Banyak kejadian di mana para petugas kepolisian menyiksa tersangka. Tidak sedikit pula tindakan yang dapat disebut eksekusi cepat (summary execution) atau pembunuhan secara tidak sah (extra-judicial killing), serta pembunuhan secara acak (random killing). Serentetan tindakan ini merupakan pelanggaran berat atau serius, khususnya hak atas keutuhan diri/tubuh (right to personal integrity) dan hak untuk hidup (right to life) atas tersangka dan orang-orang yang mengekspresikan kebebasan atau mempertahankan hak dalam suatu sengketa atau perselisihan. Penggunaan kekuatan dan senjata api yang berlebihan dan tidak proporsional ini telah menyebabkan korban terluka dan mengalami kematian. Pelanggaran juga banyak terjadi terkait alasan atau tuduhan, praduga tidak bersalah, tanpa didampingi penasehat hukum, pangabaian penangguhan penahanan, sampai hak untuk dipulihkan atau perawatan kesehatan dan makanan.
5. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah
PBHI mengapresiasi kebijakan yang ditempuh Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah yang menghentikan penerapan Kurikulum 2013 yang sudah berjalan selama satu semester. Dalam penerapannya, kurikulum ini telah menimbulkan kesulitan bagi murid-murid dan orangtua mereka, serta para guru lebih sedikit mengajar maupun kurang siap, selain buku rujukan yang kurang dan dianggap sebagai hambatan. Kesulitan ini banyak dialami murid-murid sekolah dasar, tidak sedikit yang mengalami tekanan akibat beban kesulitannya, dan kurangnya waktu bermain bagi anak.
Langkah yang ditempuh untuk mengembalikan tugas pengembangan Kurikulum 2013 kepada Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian adalah tepat, sehingga pengembangan Kurikulum tidak ditangani oleh tim ad hoc yang bekerja jangka pendek adalah sebuah langkah yang tepat. Lagi pula, pemunuhan hak atas pendidikan – bukan “wajib belajar” – sembilan tahun perlu dikaitkan dengan hak anak supaya perkembangan anak tidak didera tekanan mental yang terlalu berlebihan. Apalagi bila menyusahkan orangtua untuk menjadi “guru tambahan” di rumah.
PBHI juga mengapresiasi program “Indonesia Pintar” yang digulirkan pemerintah. Dengan program ini diharapkan semakin berkurangnya anak yang tidak mengecap pendidikan di sekolah. Kartu Indonesia Pintar (KIP) 2015 memfasilitasi 161.000 siswa di seluruh Indonesia yang hanya diambil dari sebanyak 40 persen siswa yang mengenyam bangku sekolah. Namun demikian, tidak berarti seluruh pelaksanaannya berjalan mulus dan jutaan anak masih menghadapi situasi putus sekolah. Pada 2013, sebanyak 1,3 juta anak usia 7-15 tahun terancam putus sekolah. Ada pula yang memperkirakan setiap tahun lebih dari 1,5 juta anak tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, biaya pendidikan yang mahal dan keterbatasan ekonomi orang tuanya.
Laporan yang dirilis UNICEF tahun 2012, sebanyak 2,3 juta anak usia 7-15 di Indonesia tidak bersekolah. Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat, dimana terdapat sebagian besar penduduk, telah menimbulkan sebanyak 42 persen anak putus sekolah. Pada 2014, jumlah anak usia sekolah yang tidak mengenyam pendidikan di Samarinda mencapai 40.000 orang. Dalam buku Aceh Dalam Angka 2013, jumlah penduduk usia sekolah yang masih bersekolah adalah sebanyak 73,33 persen, sementara 26,16 persen tidak bersekolah lagi, dan sisanya 0,51 persen sama sekali tidak pernah bersekolah. Terbanyak yang tak sekolah lagi adalah penduduk laki-laki, yaitu mencapai 28,02 persen dan perempuan 24,23 persen.
Kewajiban pemerintah khususnya Kementerian bidang pendidikan tidak hanya tingginya angka anak putus sekolah, melainkan juga kerusakan ruang kelas di mana anak belajar di sekolah. Pada 2012, mantan Mendikbud Muhammad Nuh mengatakan, pemerintah menyiapkan anggaran Rp 18 triliun untuk perbaikan sekitar 140.000 bangunan sekolah yang rusak, sehingga tahun 2013 tak ada lagi laporan sekolah yang rusak berat. Namun, kerusakan ruang kelas atau sekolah, tidak juga berhenti dalam dua tahun terakhir yang mencapai ribuan untuk beberapa kabupaten di Banten dan Jawa Barat. Sebanyak 1.261 ruang kelas di Kabupaten Serang dinyatakan rusak (Februari 2014), kerusakan juga dialami atas 19.000 ruangan sekolah di Kabupaten Bogor (April 2014), 1.987 ruang kelas di Kabupaten Bekasi (Oktober 2014), dan sebelumnya 2.946 ruangan sekolah di Kabupaten Cirebon (November 2013). Sebagai contoh, kondisi menggenaskan terjadi di SDN Curug 01, Kelurahan Curug, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok.
Kerusakan ruangan sekolah itu cepat atau lambat menimbulkan kecelakan. Pada 29 November 2014, atap empat ruang kelas SMP Negeri 1 Sampang, Madura, Jawa Timur, runtuh yang mengakibatkan 17 orang terluka, yaitu terdiri atas 14 siswa, 2 guru, dan 1 kepala sekolah. Sebelumnya, puluhan siswa SDN Notosari, Dusun Talansari, Desa Ciasem Hilir, Kecamatan Ciasem, Subang, Jawa Barat, mereka belajar dalam kondisi memprihatinkan. Akibat sekolah mereka rusak parah, kegiatan belajar dan mengajar (KBM), hanya beralaskan tikar yang mereka bawa dari rumah masing-masing.
Di satu sisi banyak kerusakan atas ruangan sekolah, namun di sisi lain tidak kurang pula dugaan korupsi di sekolah-sekolah. Salah satu yang menjadi sasaran korupsi oleh kepala-kepala sekolah dan guru-guru atau bendahara sekolah adalah Biaya Operasional Sekolah (BOS). Pada 2012, Kejaksaan Jember memanggil dan memeriksa sedikitnya 900 orang kepala sekolah terkait kasus dugaan korupsi dana BOS Rp 9 miliar. Pada September 2014, Kepala SDN Mustikajaya 1 Kota Bekasi diperiksa dan dicopot atas dugaan korupsi Rp 700 juta. Pada November 2014, giliran Kepala SD Muhammadiyah 3 Kota Cirebon Yudi Hudoyo, ditetapkan menjadi tersangka oleh Polres Cirebon, sedikitnya Rp 200 juta dana BOS yang diduga dikorupsi. Kepala SDN 1 Labuhan Ratu Dua, Way Jepara, Lampung Timur juga didakwa korupsi dana BOS sebesar Rp 126 juta. Mantan Kepala SMP Negeri 1 Tanjung Tiram, Batubara, Sumut, juga terbukti melakukan korupsi dana BOS Rp 274,6 juta.
Pemenuhan hak atas pendidikan itu tidak hanya menggelontorkan anggaran pemerintah dengan sejumlah sasaran pemenuhan, melainkan juga bagaimana melakukan pengawasan atas proses penerapan anggaran yang ditujukan pada sekolah-sekolah, termasuk sanksi atas mereka yang melakukan penyelewengan. PBHI juga merekomendasikan hasil laporan pengawasan ini perlu diumumkan.
6. Kemenakertrans: Pengangguran, TKI dan Upah
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) mempunyai kewajiban untuk menggerakkan kebijakan yang dapat meningkatkan jumlah orang yang bekerja dan mengurangi angka pengangguran baik di dalam negeri maupun warga negaranya yang berkesempatan untuk bekerja di luar negeri. Dalam kaitan ini juga diharapkan lebih sedikit pekerja atau buruh yang terkena pemecatan atau PHK. Kebijakan lainnya adalah berhubungan upah dan tunjangan mereka yang bekerja dan diserahkan pada masing-masing pemerintah kabupaten/kota untuk memberlakukan upah minimum kabupaten/kota (UMK) atau provinsi (UMP).
Dalam menilai kemajuan atau progress Kemenakertrans dalam merealisasikan hak atas pekerjaan, haruslah membandingkan apa yang sudah direncanakan dengan indikator hasil yang sudah dicapai. Bila dapat menekan tingkat pengangguran, maka hasil ini dapat dinilai salah satu indikator hasil yang dicapai. Namun demikian, semua ini harus pula mempertimbangkan hambatan-hambatan baik secara internal maupun eksternal seperti investasi swasta, bentuk dan sifat usaha, serta situasi pasar.
Kendati kesulitan memperoleh informasi terkini tentang angkatan kerja dan jumlah orang yang bekerja, namun Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis Data Strategis 2013 yang antara lain meliputi kondisi ketenagakerjaan di seluruh provinsi. Pada Februari 2013, angkatan kerja berjumlah 121,2 juta orang. Sebagian besar masih terkonsentrasi di Jawa sekitar 70,0 juta jiwa (57,72 persen), sedangkan sisanya yang sebesar 51,2 juta jiwa (42,28 persen) tersebar di luar Jawa.
Salah satu persoalan yang dihadapi adalah tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang masih tinggi, yakni sebanyak 3,2 juta orang dari 7,39 juta orang yang menganggur pada Agustus 2013. Pengangguran ini dihitung dari selisih antara angkatan kerja 118,19 juta orang dengan jumlah orang yang bekerja 110,80 juta orang. Dengan demikian, TPT mencapai 6,25 persen, lebih tinggi dibandingkan TPT Agustus 2012 sebesar 6,14 persen. Sebabnya, terjadi pengurangan sebanyak 10 ribu orang atas orang yang bekerja dibanding tahun sebelumnya. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengungkapkan, sebanyak 44.000 buruh perusahaan indusri sepatu telah menderita PHK selama Januari-Juni 2013.
Dengan gambaran itu, BPS telah menghitung jumlah pengangguran terbuka di seluruh provinsi. TPT paling tinggi selama 2012-2013 terjadi di Banten, yaitu 10,74 persen dan 10,10 persen, sedangkan peringkat kedua dan ketiga adalah DKI Jakarta dan Jawa Barat (lihat tabel 3). Pada 2009, tingkat pengangguran di Indonesia sebesar 8,29 persen yang lebih baik dibandingkan Tiongkok yang mencapai 9 persen, namun masih tertinggal dibandingkan India sebesar 7,2 persn.
Tabel 3 | 10 Provinsi dengan TPT Tertinggi per Februari 2013
No Provinsi Jumlah TPT
1 Banten 552.900 10,10%
2 DKI Jakarta 513.170 9,94%
3 Jawa Barat 1.815.270 8,90%
4 Kalimantan Timur 167.610 8,87%
5 Nanggroe Aceh Darussalam 177.830 8,38%
6 Sulawesi Utara 78.330 7,19%
7 Maluku 48.070 6,73%
8 Kepulauan Riau 60.670 6,39%
9 Sumatera Barat 151.260 6,33%
10 Sumatera Utara 387.870 6,01%
Sumber: bisnis.com (01/09/2013)
Karena TPT dihitung berdasarkan jumlah di setiap provinsi, maka Banten memang yang paling tinggi. Namun demikian, jumlah pengangguran yang paling banyak justru terdapat di Jawa Barat, dengan jumlah yang mencapai lebih dari 1,8 juta orang. Demikian pula, kendati TPT Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih rendah dibandingkan dengan 10 TPT tertinggi, namun justru menempati peringkat kedua dan ketiga dari segi jumlah penganggur, yaitu masing-masing 941.000 orang dan 804.000 orang.
Gambaran tentang kondisi di Jawa Barat, sektor perdagangan menjadi penampung terbesar tenaga kerja (26,51 persen), diiringi sektor industri (20,08 persen), dan pertanian (19,61 persen). Perkembangan ini dapat berlangsung atas bertambahnya sebanyak 113.297 orang yang bekerja (2,36 persen) di sektor perdagangan, berkurangnya 9.271 orang (-0,25 persen) di sektor industry, serta meningkatnya sebanyak 15.837 orang (0,44%) di sektor pertanian. Dibandingkan tahun 2012, jumlah orang yang bekerja meningkat sedikit dan TPT berkurang (lihat tabel 4). Namun, secara keseluruhan, jumlah pengangguran di Jawa Barat tetap belum beranjak di peringkat tertinggi.
Tabel 4 | Angkatan Kerja dan Pengangguran di Jawa Barat per Februari 2013
No Keterangan 2012 2013
1 Angkatan kerja 20.140.000 20.390.000
2 Jumlah yang bekerja 18.170.000 18.570.000
3 Pengangguran terbuka 1.969.010 1.815.270
4 Tingkat pengangguran terbuka 9,78% 8,90%
Sumber: bisnis.com (02/09/2013)
Selain angkatan kerja yang diserap dalam lapangan kerja di dalam negeri, juga diserap di luar negeri. Pada 2013, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) mengungkapkan, sekitar 4 juta pekerja asal Indonesia yang tersebar di berbagai negeri seperti Arab Saudi, Malaysia, Korea Selatan, Jepang, Hong Kong, serta beberapa negeri di Eropa dan AS, menyumbangkan devisa sebanyak Rp 100 triliun per tahun. Namun banyak dari pekerja ini mengalami perlakuan buruk, terutama yang bekerja di rumah-rumah tangga yang sebagian besar pekerja perempuan. Perlindungan oleh pemerintah yang lemah dalam hubungannya dengan pemerintah asing di mana mereka bekerja juga mengakibatkan berulangnya perlakuan buruk pekerja Indonesia. Belakangan, Menakertrans Hanif Dhakiri berjanji untuk meningkatkan perlindungan atas para pekerja asal Indonesia. Sebaliknya, Wakil Presiden Jusuf Kalla merencanakan penghentian pengiriman pekerja rumah tangga (PRT) perempuan ke luar negeri dalam rentang lima tahun, dengan janjinya untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja di dalam negeri. Kendati demikian, rencana ini perlu dilakukan secara serius antara peningkatan perlindungan dengan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas.
Dalam sistem pengupahan yang diberlakukan pemerintah, dikritik serikat buruh belum mencerminkan kebutuhan hidup layak (KHL). Pemerintah masih memberlakukan UMK atau UMP yang masih bersifat minimum yang secara terus-menerus dipertahankan sampai sekarang. Memang secara bertahap mengalami kenaikan. Sebagai contoh, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menolak permintaan buruh tentang kenaikan UMP 2015 sebesar 30 persen supaya dapat mencapai Rp 3,2 juta per bulan. Tahun 2014, besaran gaji buruh sebesar Rp 2,441 juta per bulan. Rendahnya upah buruh ini dapat dibandingkan dengan gaji pegawai negara sipil (PNS) DKI 2015 yang terendah Rp 12 juta per bulan dan PNS pajak lebih tinggi lagi sebesar Rp 25 juta per bulan. Artinya, para pegawai pemerintah ini tidak berlaku UMP kendati kedua penggajian ini sama-sama diberlakukan oleh pemerintah daerah.
Karena itu, PBHI mendukung keinginan atau komitmen Menakertrans untuk memperbaiki sistem pengupahan buruh. Sejumlah opsi dalam perbaikan sistem pengupahan sedang dipertimbangkan, termasuk menaikkan upah secara bertahap. Menteri juga berjanji mencari jalannya melalui dialog dengan berbagai pihak, khususnya kalangan dunia usaha dan serikat pekerja.