Sejak 31 Maret 2019, Presiden Jokowi sudah menetapkan situasi epidemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) status darurat kesehatan atau kejadian yang bersifat luar biasa yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara. Dengan demikian, status ini berlaku bagi seluruh warga negara, tidak terkecuali bagi seluruh anggota DPR 2019-2024. Sayangnya, meski saat ini Indonesia sedang mengalami status darurat kesehatan, DPR masih saja akan mengambil keputusan penting yang berimplikasi banyak terhadap kepentingan umum dalam sidang paripurna, Kamis, 2 April 2020 pukul 14.00 WIB.

Pada prinsipnya, sampai sejauh ini tidak ada larangan untuk berkumpul apalagi bertujuan untuk membahas kepentingan publik, seperti pembahasan soal Perpu No.1 Tahun 2020 atau Pembahasan APBN namun dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan soal penanggulangan wabah virus Corona agar tidak menyebar. Meski demikian, dari informasi yang didapatkan, bahwa Rapat Paripurna DPR tidak hanya mengendakan pembahasan APBN, tapi juga membahas dan mengesahkan beberapa RUU yang masih krusial, seperti RUU Mahkamah Konstitusi, RUU ASN, RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, Rancangan Peraturan Tatib DPR, Rancangan Peraturan DPR soal Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Sebagai wakil rakyat yang sah, DPR memang mempunyai kewenangan untuk membahas sejumlah RUU dan Peraturan Internal DPR yang akan mengikat publik. Meski demikian, membahas beberapa RUU yang masih krusial dan menjadi perhatian masyarakat seperti RUU Mahkamah Konstitusi, RUU ASN, RUU KUHP, dan RUU Pemasyarakatan di tengah status darurat kesehatan seperti saat ini merupakan sebuah tindakan yang tidak patut, mengamputasi aspirasi masyarakat, dan tindakan yang elitis yang tidak mempertimbangkan kepentingan masyarakat secara luas.

Apalagi dalam draft revisi terhadap Tatib DPR masih terdapat persoalan terkait isu keamanan dan representasi keputusan dengan mekanisme online. Pertanyaannya, bagaimana dengan jaminan apabila keputusan atau persetujuan yang diberikan DPR lewat mekanisme yang transparan dan akuntabel? Dan bagaimana juga dengan mekanisme pengambilan keputusan apabila masih lewat server yang tidak bisa dijamin keamanan dan integritas datanya?

Oleh karena itu, untuk menghindari adanya kepentingan jangka pendek anggota dewan yang terhormat yang terburu-buru membahas sejumlah RUU padahal masih menjadi perhatian dan polemik publik sebagaimana disebutkan di atas, maka Koalisi meminta DPR 2019-2024, untuk:

  1. Memperhatikan protokol kesehatan dampak virus corona dalam kegiatan berkumpul dan bersosialisi di ruang publik.
  2. Memastikan metode pembahasan (legislasi, pengawasan, dan penganggaran) dengan skema jarak jauh, yang tetap memastikan partisipasi publik, serta menjamin transparansi dan akuntabilitas.
  3. Membahas poin-poin yang relevan saja dengan kondisi tanggap darurat saat ini, seperti pembahasan Perpu No.1 Tahun 2020, Pembahasan RUU Perubahan APBN, dan pembahasan RUU lainnya yang relevan dengan penanganan COVID-19.
  4. Menghentikan pembahasan dan pengesahan semua RUU kontroversial, seperti RUU Mahkamah Konstitusi, RUU ASN, RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Cipta Kerja.

Jakarta, 2 April 2020

Amnesti Internasional Indonesia, ELSAM, HRWG, Imparsial, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers, ICW, PBHI, PILNET Indonesia, Setara Institute, WALHI

  • Ardi Manto Adiputra (IMPARSIAL) : 0812 6194 4069
  • Adnan Topan Husodo (ICW) : 08123600 3034
  • Erwin Natosmal (PILNET Indonesia) : 0813 9214 7200
  • Julius Ibrani (PBHI) : 081314969726
  • Usman Hamid (Amnesti Internasional Indonesia) : 0811 812 149
  • Ikhsan Yosari (Setara Institute) : 0822 8638 9295